Post

Melihat Tradisi Ancak Sedekah Bumi di Desa/Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto Yang sempat Selama Menghilang 13 Tahun













Dijadikan Ajang Mempererat Warga Serta Ucapan Syukur

Meski Sempat hilang selama tiga belas tahun, tradisi sedekah bumi masih melekat di masyarakat Dusun/Desa/Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. Tradisi mensyukuri keberhasilan panen dengan mengarak makanan keliling kampung akhirnya diselenggarakan. Bagaimanakan Prosesi tradisi yang diberi nama Tradisi Ancak tersebut?



AIRLANGGA, Trawas


Hingar Bingar Musik tradisional terdengar di jalan aspal Desa/Kecamatan Trawas Rabu (10/6) siang sekitar pukul 11.00. Ratusan warga yang sudah berkumpul sejak pagi tidak sabar melihat arak-arakan peserta tradisi Ancak ini. Meski panas matahari mulai menyengat, namun warga tetap bertahan untuk memenuhi rasa penasaran mereka. Panas seolah menjadi kawan para warga untuk menyaksikan tradisi desa mereka.
Tidak beberapa lama, arak-arakan peserta tradisi ancak pun mulai berkeliling melintasi jalanan desa untuk menyapa warga. Kontan saja warga yang melihat arak-arakan ini tersenyum, bahkan diantaranya tertawa lepas. Di barisan depan, kesenian Bantengan dipertontonkan. Kesenian khas itu seakan meluapkan kegembiraan masyarakat yang berbondong-bondong mengikuti jalannya arak-arakan ancak atau aneka panganan yang merupakan simbol ungkapan rasa sukur warga atas kemakmuran desa.

Dua banteng hitam yang berada dibarisan depan melakukan tarian yang mengundang decak kagum para penonton. Empat pemuda yang mengenakan kostum banteng berwarna hitam seolah-olah mengamuk menuju arah penonton. Saat momen tersebut, penonton terutama perempuan kontan teriak histeris. Seolah menggoda penonton perempuan, kedua banteng yang terlihat kesurupan terus mendatangi penonton hingga menimbulkan suara jeritan. Beberapa pemuda seolah-olah memegangi kepala kedua banteng mencegah banteng masuk ke arela penonton. Atraksi tersebut seolah-olah banteng memang sedang mengamuk sehingga membuat beberapa pemuda menenangkan kedua banteng jadi-jadian tersebut.Jalanan desa yang beraspal itu sempat macet tatkala dua banteng jadi-jadian yang berawakkan empat pemuda berbadan besar itu mulai mengamuk. Dua banteng warna hitam itu beradu di tengah alunan musik tradisional yang renyah terdengar. Beberapa orang dalam barisan Bantengan itu mencoba melerai dua banteng yang dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah dilerai beberapa orang setelah mengamuk, kedua banteng terus melanjutkan perjalanan mengelilingi kampung. Meski terkesan menakut-nakuti, namun warga tampak menikmati pertunjukan kedua banteng tersebut.Di barisan kedua, tampak tiga ancak yang digotong beberapa orang. Jajanan pasar dan hasil bumi yang ditata apik itu menggambarkan betapa masyarakat dusun setempat gemar bersyukur dengan menyisihkan sebagian rezeki mereka dalam momen ini. Makanan yang berada di ancak tersebut terdiri dari pisang dan empat rengginang serta beberapa jajan pasar dan buah-buahan.Makanan-makanan ini mempunyai arti tersendiri, pisang bagi masyarakat setempat disimbolkan sebagai orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain sebelum meninggal. Sedangkan rengginang, makanan yang berbahan baku ketan dibentuk seperti tanduk ini melambangkan sebuah kerja keras dalam bertani. Empat rengginang yang menjulur keatas ini melambangkan empat tanduk kerbau yang biasa dipakai membajak sawah. Barisan selanjutnya, ratusan orang mengikuti jalannya prosesi yangs sengaja menyusuri setiap jalan kampung. Barisan ini adalah warga yang mengikuti arak-arakan setelah dilewati arak-arakan ancak ini.Arak-arakan ancak dan Bantengan itu berakhir di sebuah tempat sejuk bernama sumber Macan. Sesuai dengan namanya, tempat ini merupakan sumber air terbesar yang ada di dusun itu. Sebuah pohon Beringin berukuran raksasa berdiri tegak mengayomi ribuan pengunjung yang hadir. Seperangkat gamelan mengiringi kedatangan arak-arakan itu dengan tembang jawa yang mengalun.Kegembiraan warga kembali muncul tatkala prosesi selanjutnya di tempat itu dimulai. Prosesi sederhana yang tak mengurangi makna dibalik pesta rakyat itu. Sang pemimpin desa hingga kecamatan dipersilahkan memberikan wejangan kepada sejumlah masyarakatnya. Lengkap dengan doa agar keselamatan senantiasa mengiringi aktivitas warga sehari-hari. Selama beberapa menit, wejangan dengan bahasa jawa halus menghentikan suara gemuruh para warga. Ratusan warga nampaknya tetap setia mendengarkan wejangan sang pemimpin desa. Wejangan yang dibacakan pemimpin desa berisikan tentang pesan-pesan moral kepada warga masyarakat agar selalu bersukur atas anugerah-Nya.Usai membacakan wejangan, prosesi selanjutnya yakni pembacaan babat tanah atau asal usul desa mereka. Di tengah-tengah warga yang mulai tak sabar berebut makanan, salah satu tokoh membacakan sebuah sejarah babat tanah Dusun Trawas. Prosesi itu seakan membelalakkan warga akan informasi yang selama ini tak pernah didapati. Dongeng bagaimana dusun itu dibabat hingga menjadi dusun yang berada di wilayah ketinggian itu.Warga mulai mendengarkan cerita babad dusun itu dengan penuh khidmad. Apalagi bagi mereka yang terbilang berusia muda. Maklum, beberapa anak muda tak sempat menonton tradisi ini semasa umurnya. Pelan-pelan mereka mulai mengerti siapa tokoh dibalik berdirinya dusun Trawas itu. Termasuk beberapa bangunan yang pernah menjadi penopang kehidupan warga setempat, yakni sumber Macan yang pernah menjadi mata air andalan untuk mencukupi kebutuhan irigasi.Menurut tokoh masyarakat, Purwadi, salah satu penggagas acara ini mengaku, tradisi ancak dan barikan itu sempat menghilang sejak 13 tahun silam. ’’Kali ini, warga ingin mengulangi tradisi syukuran itu,’’ ujarnya. Tradisi itu mati, lantaran penilaian syirik yang dialamatkan sejumlah tokoh atas tradisi ini. ’’Dulu memang dijadikan prosesi rutin setiap tahunnya, tapi karena ada larangan, kegiatan ini sempat dihentikan,’’ terangnya. Ia mengungkapkan, ini adalah tahun pertama sejak tradisi ini mati. ’’Kami mencoba menghilangkan stigma syirik di dalamnya. Dan tetap ada nuansa Islami,’’ terang Purwadi. Kali ini, semua warga Dusun Trawas ikut dilibatkan dalam sedekah massal itu. Contohnya adalah tiga ancak jajanan pasar dibuat oleh warga sendiri yang telah dikoordinir melalui Rukun Tetangga (RT). ‘’Sembilan RT membuat ancak dan lainnya urunan untuk pagelaran Bantengan yang memang disukai warga,’’ tambahnya.Selain menelusuri sejarah, dari tradisi ini juga diharapkan bisa mengurai benang kusut konflik diantara warga. Apalagi, warga baru saja menggelar pesta demokrasi bernama Pilkades. ‘’Ini sebagai momen penyatu warga. Karena semua dilibatkan dan diharapkan bisa rukun kembali,’’katanya.


Sumber: satriapena.blogspot.com